Sinopsis
CARITA DEUGDEUG PATI JAYA PERANG
Raden Bagawat Imeng
Sonjaya adalah putra Prabu Siliwangi, raja di Pajajaran. Suatu malam ia
bermimpi bertemu dengan putri cantik dari daerah timur. Ia meminta ijin kepada
ayahnya untuk mengembara ke daerah timur mencari putri cantik yang terlihat
dalam mimpinya.
Ayahandanya
mengijinkan, dan berangkatlah Raden Begawat Imeng Sonjaya melalui jalan angkasa
menuju daerah timur bersama pengiringnya yang bernama Kai Lengser.
Ia diterima oleh raja
negara Rambut Pala yang bernama Raden Demang Jaya Mantri, serta dipertemukan
dengan adiknya seorang putri yang cantik bernama Nyi Ameng Layar. Kebetulan
putri itu serupa betul dengan putri impiannya, lalu dilamarnya dan diterima
dengan senang hati.
Raden Begawat Imeng
Sonjaya dinikahkan oleh Raden Demang Jaya Mantri kepada Nyi Ameng Layar.
Setelah menikah Raden
Begawat Imeng Sonjaya meminta kepada Demang Jaya Mantri agar menantang perang
kepada raja Galiota. Demang Jaya Mantri pergi ke negara Galiota dan berperang
dengan rajanya, yang bernama Raden Braja Kilat. Demang Jaya Mantri menang dalam
peperangan itu dan raden Braja Kilat menyerahkan negaranya beserta adiknya,
seorang putri bernama Nyi Mas Karuntuyan.
Raden Begawat Imeng
Sonjaya pindah ke negara Galiota, dan dinobatkan menjadi raja di Galiota, Nyi
Mas Karuntuyan dijadikan istrinya.
Di negara Kuta
Pamengkang Mega, rajanya bernama Raden Deugdeug Pati Jaya Perang. Suatu hari ia
didatangi adiknya, seorang putri bernama Nyi Mas Inten Badaya. Adiknya itu
mengatakan bahwa ia bermimpi melihat ikan paus bersisik emas di laut selatan,
yang termasuk negara Galiota, dan seekor badak berbulu belang berekor emas di
hutan negara Galiota.
Raden Deugdeug Pati
Jaya Perang mengajak adiknya untuk pergi ke negara Galiota mengabdikan diri
kepada Raden Begawat Imeng Sonjaya, karena mungkin negara itulah mereka akan
mendapat kesulitan.
Merekapun
berangkatlah ke negara Galiota, lalu mengabdikan diri kepada raden Begawat
Imeng Sonjaya dan menyerahkan adiknya Nyi Mas Inten Badaya.
Raden Deugdeug Pati
Jaya Perang diangkat jadi hulubalang raja, Raden demang Jaya Mantri menjadi
Patih, sedang Raden Braja Kilat menjadi penjaga keraton.
Suatu ketika Raden
Deugdeug Pati Jaya Perang meminta ijin kepada raja akan berperang dengan raja
di negara Kuta Gedongan, dan raja di negara Gunung Layang.
Setelah diijinkan
Raden Deugdeug Pati Jaya Perang berangkatlah
Negara Kuta Gedongan
dirajai oleh tiga bersaudara, yaitu Lembu Tutur, gajah Menur dan gajah
Mancawura, yang masing-masing mempunyai adik perempuan yaitu; Sari Kancana,
sari Dewata dan Sari Wayangan.
Ketiga bersaudra itu
berperang melawan Raden Deugdeug Pati Jaya Perang, tetapi ketiga-tiganya kalah,
dan menyatakan takluk serta bersedia mengabdikan diri.
Sebelum kembali ke
negara Galiota mereka pergi dahulu ke negara Gunung Larang. Rajanya bernama
Gajah Larang, mempunyai adik seorang putri, bernama Nyi Aci Larang. Dalam
peperangan melawan Raden deugdeug Pati Jaya Perang, Gajah Larang kalah, lalu
menyatakan takluk dan bersedia mengabdikan diri.
Semua raja taklukan
dan putri-putrinya dibawa ke negara Galiota, dipersembahkan kepada Raden
Begawat Imeng Sonjaya. Negara Galiota menjadi lebih besar dan ramai, subur
makmur lohjinawi.
Nyi Ameng Layar,
permaisuri raja yang sedang mengandung suatu malam ingin berhibur diri dengan pembacaan
ceritera sambil ditembangkan. Raja menyuruh Raden Deugdeug Pati Jaya Perang
membacakannya.
Suara orang menembang
terdengar oleh Raden Braja Kilat yang sedang menjaga keraton. Ia melihat ke paseban (balaiirung). Terlihatlah Raden
Deugdeug Pati Jaya Perang sedang menembang, ditemani oleh Raden Demang
Jayamantri, di depan Nyi Ameng layar yang cantik.
Raden Braja Kilat
merasa iri, orang lain bersenang-senang, sedangkan ia sendiri disuruh
berjaga-jaga, padahal negara Galiota itu kepunyaannya. Timbullah niat jahatnya
untuk mencelakakan Raden Deugdeug Pati Jaya Perang dan raden Demang Jayamantri
beserta adiknya Nyi Ameng Layar, agar kelak ia sendirilah yang diangkat menjadi
patih, dan adiknya Nyi Mas Karuntuyan menjadi permaisuri raja.
Ditiupnya mantra untuk
menidurkan semua orang, sehingga ketiga orang yang berada di paseban itu
tertidur semuanya.
Kemaluan Nyi Ameng
Layar dijahitnya dengan kawat pusaka, lalu ditidurkan dalam pelukan Raden
Deugdeug Pati Jaya Perang. Setelah itu cepat-cepat ia memberitahukan raja,
bahwa Raden Deugdeug Pati Jaya Perang telah berhianat. Raja dibawa ke paseban
untuk melihat buktinya.
Raden Begawat Sonjaya
bukan main marahnya, lalu menitahkan kepada Raden Braja Kilat agar ketiga orang
itu dibunuh.
Nyi Ameng layar
ditarik rambutnya oleh Raden Braja Kilat, lalu di bawa ke alun-alun, dan
perutnya diinjak-injak tanpa mendengarkan jeritannya.
Ketika Nyi Ameng
Layar akan dibunuh, dihalang-halangi oleh Kai Lengser yang mengatakan bahwa
tanpa membunuh Nyi Ameng Layarpun, Raden Braja Kilat pasti menjadi patih. Nyi
Ameng Layar lalu dilemparkan jauh-jauh, dan jatuh di Lubuk Batok.
Raden Braja Kilat
kemudian menyeret raden Deugdeug Pati Jaya Perang dan raden Demang Jayamantri,
dibawa ke alun-alun untuk dibunuhnya. Akan tetapi sebelum Raden Braja Kilat
membunuhnya, kedua orang itu berkata, bahwa Braja Kilat tidak mungkin dapat
membunuh mereka. Oleh karena itu, bila kematian yang diinginkan raja, mereka
lebih baik bunuh diri, lalu keduanya saling menusuk dengan keris mereka
masing-masing, hingga mati. Mayatnya dilemparkan oleh Raden Braja Kilat dan
jatuh pula di Lubuk Batok, bersama mayat Nyi Ameng Layar.
Sukma ketiga orang
itu melihat tubuh mereka dari angkasa, lalu masuk kembali kedalam tubuhnya
masing-masing, kemudian mereka hidup kembali, lalu pergi dari Lubuk batok dan
mereka tinggal di kaki Gunung Banjaran.
Beberapa waktu
kemudian Nyi Ameng Layar menangis meratap-ratap, karena ia merasa akan
melahirkan, tetapi bayinya tidak dapat keluar sebab kemaluannya dijahit.
Ratapan Nyi Ameng Layar terdengar oleh seorang nenek yang sedang bertapa di
Puncak Gunung banjaran. Ditolongnya Nyi Ameng Layar melahirkan dengan membuka
dulu kawat penjahit kemaluan Nyi Ameng Layar, dengan kesaktiannya kawat itu
dijahitkan kepada Nyi Mas Karuntuyan di negara Galiota.
Nyi Ameng Layar
melahirkan, bayinya laki-laki, mirip sekali ayahnya, Raden Imeng Sonjaya. Bayi
itu diberi nama Raden Simpay Katulayah Pangeran Rangga Uyuhan.
Raden Demang
Jayamantri berunding dengan Raden Deugdeug pati Jaya Perang, bahwa mereka akan
kembali ke negara Galiota membawa Nyi Ameng Layar bersama anaknya. Mereka
bermaksud menuntut balas kepada Raden Braja Kilat dan Nyi Mas Karuntuyan. Untuk
menggendong bayi, maka nenak pertapa ikut pula.
Ketika mereka tiba di
negara Galiota, mereka disambut dengan tembakan senapan. Tetapi karena
kesaktian nenek pertapa, peluru-peluru itu berbalik arah menyerang pasukan
Galiota.
Raden Deugdeug Pati
Jaya Perang mengamuk. Semua ponggawa dan prajurit yang ada di alun-alun
dibunuhnya. Lalu masuk ke keraton mencari Raden Braja Kilat. Setelah ditemukan,
lalu dibunuhnya dan mulutnya dibelah. Mayat Raden Braja Kilat dilemparkan,
jatuh di laut utara dan menjadi buaya putih.
Adik Raden Braja
Kilat, Nyi Mas Karuntuyan ditangkap tangannya oleh Raden Deugdeug Pati Jaya
Perang, lalu diseret ke alun-alun. Perutnya yang sedang mengandung di
injsk-injsk dehinggs bsyinys keluar. Ibu dan anak kedua-duanya mati.
Mayat Nyi Mas
Karuntuyan dilemparkan ke laut selatan menjadi himi-himi, sedang bayinya dilemparkan ke laut utara jatuh di
Muara Kicipir, mejadi bermacam-macam hama .
Raden Deugdeug Pati
Jaya Perang bersama Raden Demang Jayamantri serta Nyi Ameng Layar dan nenek
pertapa beserta bayinya, masuk ke dalam keraton mencari raja. Lalu menyerahkan
Nyi Ameng dan bayinya. Begawat Imeng Sonjaya mau menerima bayi itu sebagai
anaknya, kalau anak itu mirip dengannya. Ternyata ketika diperlihatkan, bayi
itu mirip wajahnya, barulah Nyi Ameng Layar diterima kembali menjadi
permaisurinya.
Negara Galiota
kemudian diserahkan kepada Raden Deugdeug Pati jaya Perang, dan Raden Demang
Jaya Mantri memerintah kembali negaranya, ialah negara Rambut Pala, sedang
Begawat Imeng Sonjaya hanya memerintah di negara Kuta Gedongan.
Raden Deugdeug Pati
Jaya Perang memerintah dengan adilnya, sehingga negara Galiota bertambah besar
dan ramai, aman tentram dan subur makmur
Sumber ceritera: ed C.M. Pleyte, 1907