Buron
Novel karangan Aam Amalia ini diterbitkan oleh Pustaka
Dasentra Bandung, tahun 1983. buku ini berukuran 18 cm x 12 cm, dengan tebal
131 halaman.
Dalam novel ini
pengarang mengemukakan masalah ajaran moral dan nilai-nilai pendidikan. Manusia
jangan terlalu cepat dalam mengambil tindakan dan jangan membohongi diri
sendiri dengan menyebutkan hasil karangan sendiri padahal sebenarnya karya
orang lain. Perbuatan ini munafik, yang membuat diri terasa jadi buron dari
kehidupan dan dari perasaan sendiri. Novel ini menggambarkan perbandingan
kehidupan kota
dan kampung.
Ringkasan Ceritera
Kedatangan Bi Umi ke
kampung Pa Ulis, menjadi pembicaraan orang, karena Bi Umi disangka gila. Ketika
Alan, anak dokter, ikut melihat Bi Umi, Alan luka kakinya, Bi Umi yang disangka
gila itu malahan merawat Alan.
Ketika Bi Umi sedang ngobrol dengan Alan, datanglah Pa Ulis,
ayah Alan, dan banyak orang lainnya. Bi Umi ditempeleng oleh Pak Ulis dengan
tuduhan ia telah mengganggu anak-anak. Namun ayah Alan segera melarangnya.
Bi Umi diberi uang
oleh ayah Alan serta ucapan terima kasih telah merawat anaknya. Pa Ulis ingin
menukar uang Bi Umi dengan uang yang tidak berlaku. Namun Bi Umi tidak
memberikannya sebab dia tidak gila. Alan sendiri sering mengatakan pada
temannya bahwa Bi Umi itu tidak gila.
Andika, suami Umi,
datang dengan wajah yang sedih akibat naskahnya ditolak redaksi yang menggalkan
cita-citanya akan membeli kursi. Namun suatu hari Andika membawa kursi yang
mahal serta merahasiakan pada Umi cara mendapatkan uangnya, selain kursi alat
rumah tangga lainnya pun dibelinya. Alhirnya Andika memberitahukan pada Umi
tentang pekerjaannya, yang disangka toko buku tetapi di dalamnya ganja dan
morfin. Dengan kejadian itu Andika mengajak pindah rumah ke desa S di kaki
Gunung Galunggung karena ada perasaan takut dikejar polisi dan sindikat.
Naskah karya Andika
dari desa S harus Umi antarkan ke kantor surat
kabar dan majalah di kota
B serta harus diakui sebagai karyanya. Amara dari majalah Wanoja mendesak identitas dan kemampuan Umi sebagai pengarang. Umi
pernah diberi undangan menghadiri pertemuan Paguyuban Sastrawan Sunda; Umi
tidak menghadiri karena takut dan merasa tidak mampu.
Umi pergi ke kota B lagi mengambil
honor. Tiba-tiba ada berita Gunung Galunggung meletus. Segeralah Umi pulang
untuk menemui Andika, tetapi Andika sudah tidak ada di rumah.
Umi bergabung dengan
para korban Galunggung di barak tempat penampungan korban. Umi pergi ke rumah
nenenk Bi Mursih sambil membawa perban dan obat-obatan. Rumah nenek Bi mursih
sudah kosong. Sekarang Umi tinggal sendirian
Umi pernah mengejar
laki-laki yang mirip dengan suaminya. Laki-laki tersebut lari sambil mengatakan
orang gila berulang-ulang pada Umi. Akibatnya, Umi disangka orang gila di
kampung itu.
Setela Umi merawat
Alan anak dokter, teman-teman Alan mengatakan bahwa Bi Umi tidak gila dan
mengundang Bi Umi untuk datang ke rumah dokter. Di sanalah dokter menceritakan
bahwa Paguyuban Sastrawan Sunda sudah mengetahui Umi ada di sini dan akan
menjemputnya. Banyak orang berkumpul di rumah dokter mau minta maaf pada Umi.
PUSAT PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN
1986