Sinopsis
CARITA MUNDING KAWATI
Prabu Munding Kawati keturunan Prabu siliwangi dari
Pajajaran. Ratu ini terkenal sangat sakti dan bijaksana. Wilayah kerajaannya
luas. Sudah ada tigabelas kerajaan yang menjadi daerah taklukannya.
Prabu Munding Kawati mempunyai patih yang bernama Aria
Mangkunagera, sedangkan yang menjadi kookolot/tetuanya dalah Ua Lengser Laya
Dipa Cakra Jengjen, yang mempunyai istri tiga orang. Permaisuri Prabu Munding
Kawati adalah dua orang putri asal keturunan bidadari dari kahyangan. Seorang
bernam Ratnasari, seorang lagi Ratna Kembang. Keduanya sangat cantik dan hidup
rukun.
Pada suatu hari ketika sedang bertafakur, keduanya jatuh
tertidur, lalu bermimpi. Mereka bermimpi didatangi kucing “candramawat” (berbulu tiga warna), yang naik ke pangkuan
masing-masing, alat kesenian rusak, tungku hancur dan nasi berhamburan,
dandangnya terguling, sedangkan negara Haur Deni dilanda banjir. Sang Prabu
berlayar dengan perahu kencana, tenggelam dalam air.
Mimpi itu disampaikan kepada sang prabu, akan tetapi
baginda tidak mengetahui tabirnya.
Baginda lalu menitahkan patih untuk memanggil Lengser,
supaya menabirkan mimpi itu. Lengser tahu akan maknanya. Ia tahu, mimpi itu
merupakan alamat, bahwa ada orang yang ingin memperistri kedua permaisuri raja,
dan Prabu Munding Kawati akan dibunuh. Lengser tidak sampai hati menyampaikan
tabir mimpi yang buruk itu, lalu dikatakannya saja, bahwa impian itu maknanya
kalau tidak baik tentu buruk, kalau tidak buruk tentu baik.
Karena melihat sikap Lengser, ratna Sari dan Ratna Kembang
Purba Inten tahulah, bahwa tabir mimpi itu tidak baik. Sesudah Lengser pergi,
lalu keduanya mengemukakan kepada Prabu Munding Kawati, bahwa Lengser bukannya
tidak dapat membuka tabir mimpi, akan tetapi tidak berani mengemukakannya, karena
tabirnya buruk.
Baginda tidak mempercayainya, bahkan mengartikan mimpi itu
sebaliknya. Sang Prabu yakin, mimpi itu memberi alamat baik, bahwa akan datang
raja lain yang akan takluk kepadanya, sehingga negara taklukannya akan menjadi
empatbelas buah negara.
Kedua putri tetap pada pendiriannya, dan mengajak
menyingkirkan diri.
Karena Prabu Munding Kawati merasa dihinakan, lalu marah.
Kedua putri disiksanya, padahal mereka tengah hamil tiga bulan. Keduanya tidak
melawan, kemudian mereka bersembunyi di kamar duapuluh lima baris ( kamar salawe jajar), tempat tinggal
para putri.
Prabu Munding Kawati lalu memerintahkan patih Aria
Mangkunagara agar membawa punggawa dan para tumenggung, serta prajurit dan
gulang-gulang, untuk berkumpul dan menjaga tapal batas negara haur Doni
sekelilingnya, untuk menyambut datangnya orang yang akan menyerahkan negara
kepada baginda.
Ratu di negara Kuta daha yang makmur dan aman, ada dua
orang, mereka kembar yakni : Gagak Sagara dan Badak Komalang. Keduanya belum
mempunyai permaisuri, dan menginginkan putri keturunan bidadari yang menjadi
permaisuri Prabu Munding Kawati, ialah Ratna sari dikehendaki oleh Gagak Nagara
dan Kembang Purba Inten oleh badak Komalang. Keduanya berunding untuk
mendapatkan kedua putri itu. Waktu maksud tersebut disampaikan kepada adik
perempuannya yang bernama Inten wayang, adiknya itu mencegahnya, karena Prabu
Munding Kawati keturunan raja Pajajaran, dan kedua permaisurinya keturunan
bidadari, tidaklah sepadan untuk mereka.
Kedua kakaknya tidak menerima nasihat itu, untuk
membatalkan niatnya. Malah mereka segera berangkat menuju Haur Doni. Di pinggir
sungai Cipatihnunggal, Gagak Sagara dan badak Komalang meninggalkan semua
azimatnya, lalu menjelmakan dirinya menjadi dua orang tua renta yang buruk
rupa, dan menamakan dirinya Aki Lutung Padingdang dan Aki Beunying Menir.
Tiba di tapal batas negara Haur Doni, mereka bertemu
dengan Aria Mangkunagara. Setelah mendengar, bahwa Aria Mangkunagara dan
balatentara menjaga tapal batas untuk menjemput orang yang akan menyerahkan
negaranya, maka Aki Lutung Padingdang dan Aki beunying Menir mengaku diri
menjadi orang kepercayaan raja Gagak sagara dan Badak Komalang, raja di negeri
Kuta daha, yang ingin menjadi negara taklukan prabu Munding Kawati. Keduanya
dihadapkan kepada Prabu Munding Kawati.
Prabu Munding Kawati mempercayai pengakuan Aki Lutung
Padingdang dan Aki Beunying Menir, dan memenuhi ajakan kedua orang tua itu
untuk meninjau negara Kuta Daha. Baginda berangkat tanpa seorang pengiring pun,
dan tanpa membawa segala azimatnya, padahal kedua orang permaisurinya telah
menasehati dan memberi tahu bahwa kedua orang itu palsu dan berniat
membunuhnya. Nasihat itu tidak dipedulikan baginda, bahkan kedua putri itu
dimarahinya.
Ketika ketiganya sampai di Cipatihnunggal, Prabu Munding
Kawati merasa lesu, sehingga tak mampu melangkah. Kedua orang tua renta itu
kembali ke wujudnya semula, menjadi Gagak Sagara dan Badak Komalang, kemudian
memperkenalkan diri kepada sang prabu.
Prabu Mundingkawati tak dapat mereka bunuh karena saktinta,
begitu pula kedua saudara kembar itu tak dapat dibunuh baginda, karena mereka
keturunan Idajil laknattu’llah.
Karena perkelahian antara Prabu Munding Kawati dan kedua
raja Kuta daha, maka kawah candradimuka di surgaloka menjadi bergolak mendidih
serta bergegar-gegar, para bidadari banyak yang sakit, dan tumbuh-tumbuhan
menjadi layu.
Hyang Guru Winawacanjala melihat “Ogan Lopian” . terlihat yang sedang bertarung berkepanjangan. Bila
mereka tidak berhenti bertarung, kegemparan di surga akan tetap berlangsung.
Hyang Guru berbicara secara gaib kepada Prabu Munding Kawati untuk mengalah,
karena kalaupun ia meninggal, kelak akan hidup kembali dengan perantaraan
putranya yang masih dalam kandungan kedua permaisurinya.
Prabu Munding Kawati menunjukan permati pada pangkal paha
kirinya, Gagak Sagara membunuh baginda, lalu berangkat ke Haur Doni.
Ratna Sari dan Ratna kembang Purba Inten sudah mengetahui
dari alamat-alamat yang nampak, bahwa suaminya sudah meninggal, lalu berunding
untuk mencari mayatnya, namun mayat Prabu Munding Kawati tidak ditemukan.
Keduanya sangat berputus asa, lalu mereka pergi ke surgaloka menanyakan perihal
suaminya kepada Hyang Guru. Hyang Guru memberi tahu mereka, bahwa suaminya
sudah meninggal oleh orang yang menginginkan kedua putri itu, dan mayatnya tak
akan ditemukan. Hyang Guru menahan keduanya di surga, kalau sudah tiba saatnya
melahirkan, barulah mereka harus turun ke dunia.
Setelah semua orang pergi mengungsi, Lengser tinggal di
istana, lalu masuk ke kamar tidur permaisuri. Dari dua buah bantal
diciptakannya dua orang putri yang mirip dengan kedua permaisuri. Supaya tampak
seperti hidup, dimintanya dua ekor burung untuk masuk ke dada kedua orang
putri, sehingga putri ciptaan itu nampak bernafas teratur seperti sedang tidur
nyenyak.
Gagak Sagara dan Badak Komalang yang kemudian datang ke
istana, mengira bahwa yang sedang tidur nyenyak itu Ratna Sari dan Ratna
Kembang. Kedua putri ciptaan itu mereka tubruk lalu dipeluk dan diciumnya
dengan bernafsu, tetapi tidak terjaga, bahkan burung yang ada didalam bantal
terbang keluar. Kedua burung itu dikira oleh gagak Sagara adalah putri Ratna
sari dan Ratna kembang yang sakti, lalu dikejar sampai hutan belantara. Di
hutan mereka ditipu oleh Ki Rangga gading, bahwa kedua orang putri sedang menunggu
di pendakian ke tujuh, dan belokan ke tujuh tetapi kedua raja itu harus menemui
mereka dengan bertelanjang bulat.
Karena hasrat mendapatkan putri, keduanya lalu melepas
pakaian masing-masing, dan pergi ke arah yang ditunjukan oleh Rangga gading.
Setelah sampai, tak seorangpun putri dijumpai. Dengan rasa malu keduanya pulang
ke Kuta daha. Mereka berniat akan kembali ke Haur Doni, tetapi sekali lagi
dicegah oleh Nyi Sunten Wayang.
Ratna Sari dan Ratna Kembang pada saat akan melahirkan
diturunkan dari kahyangan ke Gunung Ciputih Nunggal. Hyang Guru memberi mereka
azimat kasang jinem. Di gunung tersebut mereka melahirkan dua orang putra
laki-laki.
Wangi bayi tercium oleh Yaksa Wayuta yang tinggal dengan
istrinya di gua gunung Ciputih Nunggal. Yaksa Wayuta keluar dari gua, nafasnya
bagaikan taufan. Ratna Sari dan Ratna kembang Purba Inten terbawa angin,
diterbangkan dan jatuh di sungai Cilulumpang, di Cadas Patenggang, sedangkan
kedua bayi diambil Yaksa Wayuta, lalu dimakannya, tetapi kedua bayi itu sakti,
bukannya mati setelah ditelan, melainkan latihan berperang dalam perut Yaksa.
Setelah bosan, lalu keluar merobek hulu hati yaksa, sambil dibawanya azimat
yaksa yang berupa cupu manik astagina yang diperoleh mereka di tenggorakn Yaka
wayuta. Kedua yaksa terbunuh mati. Setelah membunuh yaksa, keduanya lalu
menolong Ratna Sari dan Ratna Kembang yang tersangkut di cadas Patenggang.
Setelah diketahui, bahwa mereka adalah ibunya, lalu berunding mencari Kuta
Daha.
Kedua putra Prabu Munding Kawati lalu membalaskan dendam
ayahnya. Dalam perkelahian, gagak sagara dan Badak Komalang dengan mudah dapat
dibunuh, tetapi Ratna sari menitahkan keduanya dihidupkan kembali, karena hanya
merekalah yang tahu tempat ayahnya berada.
Gagak Sagara dan badak komalang hidup kembali, lalu
menyatakan takluk. Mereka berangkat ke Gunung Ciputih Nunggal akan mencari
mayat prabu Munding Kawati. Setelah ditemukan, lalu dihidupkan kembali dengan
cupu manik astagina. Gagak Sagara dan Badak Komalang dimaafkan oleh prabu
Munding Kawati. Keduanya bersumpah tujuh turunan, bahwa tidak akan melawan
keturunan baginda. Kemudian menyerahkan negara Kuta daha. Prabu Munding Kawati
menerima negara itu, tetapi sementara putranya belum dewasa, mengangkat Gagak
Sagara sebagai wali.
Kepad kedua orang permaisuri, Prabu Munding Kawati meminta
maaf, karena telah mengumbar nafsu marahnya dan tidak mengikuti nasehat mereka.
Kemudian semuanya kembali ke negara Haur Doni. Gagak sagara dan Badak Komalang
kembali ke Kuta daha.
Atas nasehat lengser, agar negara selamat dan dijauhkan
dari mara bahaya, maka baginda meruat negara dengan menanggap pantun Pajajaran.
Sumber ceritera
Ki Atma, Subang
1971